Sekitar 9 tahun lalu, ketika masih kuliah saya pernah mencoba melamar pekerjaan lepas.
Karena saya pikiri saya kuliah banyak waktu luang, saya pikir kalau saya gunakan untuk bekerja malah bisa jadi produktif.
Saya buatlah CV dan surat lamaran sederhana.
Pada bagian skill saya tuliskan skill saya antara lain: Microsoft Word, Microsoft Excel, dan PowerPoint.
Dan saya diterima kerja sebagai pengajar disebuah bimbingan belajar di Bandung, dengan gaji 35rb/jam.
Lumayan dalam benak saya saat itu.
Bahkan, Microsoft Word pernah menjadi sebuah skill
Saya ingat betul saat saya melamar ketika itu saya hanya menuliskan skill saya berupa Microsoft Word, Excel dan PowerPoint.
Skill tambahan lainnya mungkin hanyalah memahami pelajaran anak SD dan SMP.
Dengan skill itu saya bisa mendapatkan 10 jam pelajaran dalam satu minggu. Artinya sekitar 1,4 juta dalam sebulan.
Cukup banyak sebagai uang jajan tambahan untuk Mahasiswa.
Tapi itu 9 tahun lalu. Saat ini jika hanya bermodalkan skill Microsoft Word saja, kemungkinan Anda akan dapat penolakan.
Karena Microsoft Word, Excel, dan PowerPoint saat ini mungkin statusnya sama seperti kemampuan “dapat membaca dan menulis”, pada 9 tahun lalu.
Skill menguasai Ms Word itu harus ada. Dan jika pun Anda menguasainya, bukan suatu yang istimewa jika Anda menguasainya. Karena yang bisa sudah banyak.
Bahkan, beberapa perusahaan saat ini ada yang lebih mempertimbangkan penguasaan Google Docs dan Google Sheets dibandingan Microsoft Office.
Mengingat penggunaan Google Docs dan Google Sheets sudah bisa online dan lebih memungkinkan untuk kolaborasi antar tim dan klien.
Skill ini mahal, tapi belum tentu 10 Tahun lagi
Di era yang ‘apa-apa internet’ ini, banyak sekali skill tambahan yang dibutuhkan. Dalam satu tahun mungkin ada beberapa skill baru yang diperlukan.
Instagram Marketing, Facebook Marketing, Email Marketing, Paid Ads dan skill lainnya.
Ada satu skill yang menurut saya cukup penting, namun belum banyak yang bisa. Padahal skill ini sudah jauh lebih mudah ketimbang saat pertama kali muncul.
Skill Membuat Website.
Menurut saya, skill membuat website adalah sebuah skill “pangkal”. Maksud saya, skill yang ada saat ini biasanya ujung-ujungnya akan ke website-website juga.
Sebut saja, Instagram Marketing atau Facebook Marketing.
2 skill diatas saat ini lumayan populer. Tujuannya biasanya kalau tidak untuk mencari traffic berarti untuk engagement.
Ujung-ujungnya, traffic yang mereka dapatkan di Facebook atau Instagram akan mereka arahkan untuk mengakses website brand masing-masing.
Karena di dalam website mereka lah terdapat Pixel ataupun Analytics yang dapat merekam kebiasaan pelanggan. Termasuk melakukan pembelian.
“Ah ga juga, ada kok usaha yang tanpa website bisa jualan”, mungkin Anda berpikir begini.
Jawaban saya mungkin akan selalu sama:
“Itu bukannya tidak butuh website, tapi belum. Ada titik dimana mau tidak mau harus punya website.”
Beberapa titik yang mengharuskan mulai website:
Intervensi dari platform
Contohnya adalah pembatasan impresi organik di Facebook ataupun Instagram.
Saat ini, jika Anda punya 10 ribu follower di Instagram, dan Anda posting foto di feed instagram Anda, maka kemungkinan yang melihat hanyalah 1-5% dari total followers Anda.
Jadi kemungkinan foto Anda muncul di timeline followers adalah berkisar dari 100-500 orang saja.
Kok gitu? Ya Instagram kan punya fitur iklan. Biar pada make fitur iklan lah. Biar Instagramnya untung.
Curang dong si Instagram?
Ya engga lah, platform punya mereka ya terserah mereka. Kalau mau suka-suka Anda ya bikin platform sendiri.
Saat Multi Channel Audience membesar
Karena saya suka sepak bola, saya akan coba ambil studi kasus akun sepak bola.
Pada tahun 2013 salah satu akun yang membahas sepak bola bernama 433 mulai beroperasi.
Ternyata perkembangannya sangat lah cepat, bahkan cenderung eksponensial. Mereka punya audience di Instagram, Twitter, Facebook, Youtube, bahkan yang terbaru TikTok.
Selain memanfaatkan promosi antar platform (cross-platform) mereka juga membuat sebuah website yang berisi tentang bisnis mereka.
Dan saat ini mereka sudah bertransformasi menjadi Digital Agency khususnya yang berhubungan dengan sepakbola di Eropa.
Saat sebuah platform tidak bisa mengakomodir
Kita tidak pernah tau sampai kapan sebuah platform akan terus Ada.
Beberapa tahun yang lalu, beberapa bisnis menggunakan social media seperti Foursquare, Path, ataupun platform lainnya (cukup banyaj jenisnya).
Beberapa dari mereka bahkan sudah banyak yang “Almarhum”, alias sudah ditutup. Jika sebuah bisnis mengandalkan suatu platform saja, itu akan sangat berisiko.
Bahkan title “seleb-gram”, bisa saja tiba-tiba hilang jika Instagram ditutup atau sudah tidak beroprasi.
Contoh lainnya, brand seperti Vanilla Hijab juga sudah mulai menggunakan website.
Kalau saya boleh menebak, mungkin karena dengan permintaan akan Vanilla Hijab yang sebesar itu, pemilik brand sudah cukup keteteran untuk melayani melalui chat.
Dan Instagram belum dapat mengakomodir kebutuhan pemesanan secara full-otomatis.
Itu sebabnya pemilik brand sedikit demi sedikit memutuskan untu bermigrasi menggunakan website.
Namun skill membuat website semakin hari juga sudah semakin mudah. Mungkin beberapa tahun lagi skill ini juga semakin menjadi skill wajib.
Sama halnya seperti skill Microsoft Office saat ini.
Skill, makin sedikit yang punya makin mahal
Kemarin salah seorang teman saya menghubungi dan minta tolong diinfokan jika Ada yang memiliki keahlian sebagai Developer Android, khususnya yang menggunakan Kotlin.
(Btw, jika kalian ingin apply bisa lihat lowongannya disini ya, kalau masih ada)
Saya menyarankan untuk menggunakan layanan seperti Facebook Ads untuk mencari karyawan.
Namun teman saya bilang sudah melakukannya bahkan sudah berlangganan Linkedin Premium.
Namun karena memang skill tersebut di Indonesia memang terbatas, sehingga sistem yang ada sekarang adalah saling hijack (membajak karyawan milik perusahaan lain).
Baca Juga: Apa itu Marketplace ? Sisi Gelap yang Tidak Banyak Orang Tau
Sebenarnya hal yang saya ceritakan diatas kerap terjadi. Keterbatasan sumber daya disertai dengan kebutuhan pasar yang jauh lebih tinggi.
Hal tersebut berimbas kepada saling hijack dan penawaran gaji yang cukup besar.
Itu adalah hal normal sebagaimana teori ekonomi dasar, permintaan dan penawaran.
Sebaliknya, jika sebuah skill sudah dimiliki orang banyak skill tersebut akan menjadi relatif lebih murah karena banyak pilihan yang tersedia.
Efek lainnya, skill tersebut akan menjadi standar baru. Sama seperti Microsoft Office yang saya ceritakan diawal.
Mengerti atau Tertinggal
Di era yang serba cepat ini belajar bukan lagi sebuah pilihan menurut saya, tapi keharusan.
Mungkin beberapa dari Anda akan berpikir, kita bisa bayar orang untuk melakukan sesuati yang kita tidak mengerti.
Iya betul, dan saya setuju.
Asal kondisinya Anda harus selalu punya uang untuk membayar orang untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak anda pahami.
Masalahnya banyak orang yang memulai seorang diri, istilahnya Single Fighter.
Diawal bisnis, semuanya akan diurus sendiri. Jadi pilihan yang ada sekarang memang harus belajar.
Banyak sekali sumber belajar saat ini, ada Google ada pula Youtube. Atau sumber belajar gratis lainnya.
Kita tidak perlu pelajari sampai detail sekali, paling tidak sampai tahap bisa melakukannya untuk diri sendiri saya kira sudah cukup.
Karena semakin lama kita enggan, maka akan semakin dekat akan tiba masanya dimana kita ada di posisi dibawah standar baru yang akan datang.
Terimakasih