fbpx

Kenapa “Why” lebih penting daripada “How”

Ini adalah sebuah kisah dari Melanie Perkins.

Mungkin Anda tidak kenal siapa dia, tapi kalau saya sebutkan perusahaan miliknya mungkij beda cerita.

Canva.

Ya, Perkins adalah founder dari Canva. Salah satu startup yang paling berharga saat ini. Valuasinya mencapai 40 Milyar dollar.

Diawal kemunculan Canva, idenya ditolak oleh ventures capital.

Namun, dikemudian hari dia menydari bahwa dia ditolak karena presentasinya.

Dalam presentasi tersebut dia menjelaskan bagaimana Canva nantinya akan terintegrasi dengan platform yang sudah ada saat ini.

Dia sadar kesalahannya adalah menjelaskan bagaimana Canva akan beroperasi.

Dia lupa menjelaskan “kenapa” dia terpikir untuk mendirikan Canva?

Akhirnya dia ubah presentasinya dengan menceritakan kesulitannya saat akan membuat design menggunakan Photoshop.

Dia yang saat itu masih mahasiswi merasa fitur Photoshop terlalu kompleks. Dan kadang membuat frustrasi.

Dia sadar butuh solusi yang lebih sederhana dan mudah. Dan mungkin ada sekian banyak mahasiswa di seluruh dunia yang merasakan apa yang dia rasakan.

Dan boom!

Saat ini Canva adalah salah satu startup yang merajai untuk kalangan pebisnis dan end-user.

Bahkan raksasa seperti Adobe pun merasa sedikit terancam.

Kesalahan yang dialami Perkins ini sebenarnya sering terjadi.

Dulu saya pernah berjualan hiasan dinding dari canvas. Dimana siapa saja bisa memasang foto / lukisan disana.

Namun saya terlalu fokus pada spesifikasinya.

Mungkin kalau saya mengetahui bahwa pelanggan itu lebih mengedepankan feeling dibanding fungsionalitas akan beda ceritanya.

Jangan jual pigura, orang tidak butuh pigura.

Jual perasaan yang dapat membuat orang tersenyum sendiri saat mengingat momen apa yang tergambar pada sebuah pigura.

Mungkin akan beda ceritanya.

Leave a Comment

8 − eight =